Blogger Widgets

me gif

me gif
me gif

4 Mar 2016

HUKUM ONANI .........................

Hukum Onani

Onani dengan hanya sekedar untuk membangkitkan syahwat, hukumnya adalah haram secara umum. Karena AllahTa’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (29) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (30) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (31)

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Ma’arij: 29-31). Orang yang melampaui batas adalah orang yang zholim dan berlebih-lebihan. Allah tidaklah membenarkan seorang suami bercumbu selain pada istri atau hamba sahayanya. Selain itu diharamkan. Namun, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Imam Ahmad, hukum onani itu makruh tanzih(sebaiknya dijauhi).

Jika onani dilakukan untuk menekan syahwat dan takut akan terjerumus zina, maka itu boleh secara umum, bahkan ada yang mengatakan wajib. Karena kondisi seperti ini berarti melakukan yang terlarang di saat darurat atau mengerjakan tindakan mudhorot yang lebih ringan.

Imam Ahmad dalam pendapat lainnya mengatakan bahwa onani tetap haram walau dalam kondisi khawatir terjerumus dalam zina karena sudah ada ganti onani yaitu dengan berpuasa.

Ulama Malikiyah memiliki dua pendapat. Ada yang mengatakan boleh karena alasan kondisi darurat. Ada yang berpendapat haram karena adanya pengganti yaitu dengan berpuasa.

Ulama Hanafiyah seperti Ibnu ‘Abidin berpendapat bahwa jika ingin melepaskan diri dari zina, maka onani wajib dilakukan.

Dari berbagai pendapat yang ada, penulis menilai pendapat yang menyatakan onani itu haram lebih kuat seperti pandangan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Karena syahwat tidak selamanya dibendung dengan onani. Dengan sering berpuasa yaitu puasa sunnah akan mudah membendung tingginya syahwat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah (kemampuan untuk menikah), maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)

Onani Melalui Istri

Mayoritas ulama menilai bolehnya onani jika yang melakukan adalah pasangannya (istrinya), seperti mengeluarkan mani dengan cara kemaluan si suami digesek pada paha atau perut istri selama tidak dilakukan pada kondisi terlarang (yaitu seperti ketika puasa, i’tikaf atau saat berihram ketika haji dan umrah).

Namun ulama lainnya mengatakan perilaku onani dari pasangan (istri) dinilai makruh. Dalam Nihayah Az Zain dan Fatawa Al Qodidisebutkan, “Seandainya seorang istri memainkan kemaluan suami dengan tangannya, hukumnya makruh, walau suami mengizinkan dan keluar mani. Seperti itu menyerupai perbuatan ‘azl(menumpahkan mani di luar kemaluan istri). Perbuatan ‘azl sendiri dinilai makruh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar